Yang Lucu dan Tidak Lucu dari Film Preman Pensiun
Minggu, 13 Januari 2019
1 Komentar
Sudah menjadi maklum kalau-kalau
tipikal orang Indonesia itu akan mudah terhibur,
tersentuh atapun terpingkal-pingkal oleh tontonan. Tontonan yang ringan, renyah mengundang tawa. Apalagi
tontonan itu adalah realitas yang tidak jauh-jauh dari kehidupan sehari-hari.
Meskipun absurd secara logika pun tetap tidak bisa dipisahkan kalau masyarakat kita ini sangat doyan tontonan berupa
film komedi.
Preman Pensiun |
Mendengar ajakan untuk gala
premiere film Preman Pensiun di awal tahun ini seakan oase yang menyirami dunia
hiburan yang setahun lalu didominasi film berbau horor atau pun romances.
Kehadiran film Preman Pensiun ke layar lebar bagi saya adalah keberanian dan
pertaruhan. Kenapa begitu?
Karena setelah kesuksesan Preman
Pensiun versi layar televisi yang menyedot animo penonton yang militan, seakan menjadi
modal pede dan penting kenapa film ini layak diangkat ke versi layar lebar. Maka setelah
pensiun dari layar televisi alias
sinetron kemudian kembali bertransformasi ke layar lebar adalah sebuah
pertaruhan.
Meski pun saya secara pribadi
tidak begitu mengikuti secara marathon episode versi sinetronnya. Paling tidak
saya mengerti garis besar cerita film ini akan bagaimana. Dari judulnya saja
film ini jelas teraba bergenre komedi. Saya justru tertarik elemen teknis
film ini ketika diangkat ke layar lebar bakal seperti apa.
Karena kebetulan saya suka mencoba menjadi penonton tengahan kalau menonton film. Tentang bagaimana menonton untuk menemukan apa yang bisa dinikmati dan juga menonton untuk menemukan apa yang mungkin untuk dikritisi. Seperti menganalisis bagaimana film itu sendiri dieksekusi. Sehingga kitapun bisa memilih bersikap sebagai penonton yang punya independensi sendiri untuk terhibur atau tidak.
Karena kebetulan saya suka mencoba menjadi penonton tengahan kalau menonton film. Tentang bagaimana menonton untuk menemukan apa yang bisa dinikmati dan juga menonton untuk menemukan apa yang mungkin untuk dikritisi. Seperti menganalisis bagaimana film itu sendiri dieksekusi. Sehingga kitapun bisa memilih bersikap sebagai penonton yang punya independensi sendiri untuk terhibur atau tidak.
Tentu intuisi sinematografi saya
beranjak ke alam sadar untuk mengulik kekuatan dan kelemahan film Preman
Pensiun ini. Berangkat dari cerita yang kuat versi sinetron--dengan sebanyak
episode di dalamnya--kemudian dikemas dan dieksekusi ke layar lebar tentu punya
tantangan tersendiri. Yang mana bagaimana sang sutradara, Aris Nugraha akan menghidupkan kembali cerita
yang begitu panjang menjadi durasi sekian jam tanpa menghilangkan karakter
penting di dalamnya. Apalagi sudah tiga tahun tak ditayangkan lagi. Tentu keirinduan penonton akan akting Epy Kusnandar sebagai
kang Muslihat memang akan menjadi
starting point penting. Tapi saya penasaran bagaimana film ini akan
bertransformasi.
Lalu apa yang saya dapat dari
gala premiere 10 Januari lalu?
Saya & Preman Pensiun |
Masih mengambil setting Bandung
sebagai latar belakang film ini digarap adalah hal yang menarik. Apalagi
Bandung versi sekarang di film ini dishoot
untuk menampilkan view kota Bandung yang elok dan milenialis meski tidak banyak. Mulai
gedung-gedung ikonik seperti gedung dan jalan Asia Afrika contohnya. Selain itu
dipolesi scene milenial berupa cosplay, kampus ITB adalah contoh bagaimana film ini dikemas untuk kalangan milenial juga. Kurang sreg-nya pengambilan view kotanya justru banyak ditampilkan di malam hari sehingga tak bisa menyuguhkan Bandung sebagai setting yang lebih menawan. Penampakan rumah-rumah khas pemukiman
di Bandung yang kecil nan sederhana juga elemen pemikat tersendiri, bagi saya. Unsur kultur Sundanhya dapet apalagi ditingkahi logat khas Sunda para pemainnya.
Benang merah film Preman Pensiun indukkan MNC Pictures ini mengambil cerita tentang penyelidikan kasus pembunuhan sekaligus balas dendam akan kasus kematian
adik ipar Gobang (Dedi Moch Jamasari yang
tidak menemui titik terang. Sehingga Gobang mantan preman ini kembali turun gunung, ke pasar setelah selama ini hidup di kampung. Kehadiran Gobang yang kembali inilah kemudian menjadi tanda
tanya untuk sahabat-sahabatnya yang dulu mreman
bareng. Ada Ujang (M Fajar
Hidayatullah), Bohim (Kris Tato), dan Dikdik
(Andra Manihot) yang kemudian bersama-sama membantu penyelidikan.
Meski diangkat ke layar lebar
bagi saya Preman Pensiun tetaplah Preman Pensiun. Unsur sinetronnya masih
kental, yang justru (saya lihat) malah membuat penonton tak sadar kalau ini
adalah versi layar lebar. Apakah itu bagus? Ya, aneh sih artinya meskipun Preman Pensiun
mencoba keluar dari medium TV--meski tidak bisa dibilang sepenuhnya keluar--ternyata tetap punya porsi komedi yang
mengundang reaksi tawa penonton. Mungkin karena penonton sudah gandrung kali yak!
Cast Preman Pensiun |
Di sisi lain karena
penonton kita yang satu ini memang mudah disuguhi bagaimanapun film komedi
itu sendiri dibuat, terutama emak-emak sih
hehehe. Sehingga alpha untuk mengoreksi komedi yang enak untuk ketawakan seperti apa. Unsur komedi yang asyik untuk
ditertawakan bukan sekedar tertawa ha..ha.. tapi juga mengandung alasan logis untuk layak ditertawai. Yah paling engga ada
unsur punchline versi stand up comedy. Sehingga komedi tidak lagi disajikan untuk menertawakan hal-hal
yang absurd padahal sebenarnya kalau dipikir-pikir ga masuk akal.
Seperti mengurangi karakter yang terlalu begok, lebay dan cenderung hiperbol. Karena komedi tidak identik dengan absurd tapi logic. Punya alasan yang lebih layak untuk ditertawai. Seperti adegan cosplay yang disangka adalah hantu beneran adalah konyol untuk alasan di waktu sekarang-sekarang ini. Karakter lebay dua preman yang sampai harus melepaskan helm sebegitunya. Untungnya segala sisi minus tadi dicover oleh akting Epy Kusnandar yang apik, baik dari kuatnya sebagai karakter utama yang mampu diperankan secara totalitas. Yang paling saya suka adalah jokes-jokes receh seputar kopi yang diulang-ulang kemudian ditimpali karakter bloon (polos) anak buiahnya.
Seperti mengurangi karakter yang terlalu begok, lebay dan cenderung hiperbol. Karena komedi tidak identik dengan absurd tapi logic. Punya alasan yang lebih layak untuk ditertawai. Seperti adegan cosplay yang disangka adalah hantu beneran adalah konyol untuk alasan di waktu sekarang-sekarang ini. Karakter lebay dua preman yang sampai harus melepaskan helm sebegitunya. Untungnya segala sisi minus tadi dicover oleh akting Epy Kusnandar yang apik, baik dari kuatnya sebagai karakter utama yang mampu diperankan secara totalitas. Yang paling saya suka adalah jokes-jokes receh seputar kopi yang diulang-ulang kemudian ditimpali karakter bloon (polos) anak buiahnya.
Dari sisi sinematografi tetap
menarik untuk diulik di film Preman Pensiun ini. Transisi dari scene satu ke
scene yang lain menurut saya ini adalah langkah yang cerdas dan baru untuk mendidik penonton. Apalagi di setiap
transisi tadi diselipi dialog-dialog yang menghubungkan satu sama lain. Sehingga
penonton untuk sejenak diajak menangkap pesan komedi di dalamnya. (Ini salah satu alasan
kenapa saya termasuk mau berlama-lama
menonton film ini. Dan seolah-olah memaafkan apa yang saya ulas di atas barusan). Meskipun begitu kadang penonton akan dibuat bingung sebentar karena saking
seringnya model transisi ini disulam di sepanjang film. Tetapi di situlah film
ini menjadi lebih menarik karena menyimpan simpul-simpul ledakan tawa tersendiri yang tidak akan diantisipasi oleh penonton.
Preman Pensiun |
Sebenarnya film ini dibuat dengan
cerita yang agak kompleks karena tidak saja tentang cerita pengungkapan kasus pembunuhan,
tetapi juga cerita tentang mengenang Kang Bahar (alm Didi Petet) yang di sini diwakilkan peran anaknya Kinanti (Tya Arifin), yang kebetulan juga memang dari awal menjadi alasan utama kenapa saya penasaran sama perannya.
Menjadikan cerita film kadang berganti alur ke melo-drama untuk mengenang seorang kang Bahar akan amanahnya kepada kang Muslihat. Selain unsur komedi yang menjadi basic film, unsur dramatiknya agaknya menjadi pengantar untuk menyampaikan messages filosofis yang baik untuk dicerna penonton.
Sehingga penonton keluar dari bioskop tidak saja menjadi lega karena tawa tapi juga membawa nilai sentimentil tentang hidup secara personal. Entah itu menjaga amanah, tanggung jawab, peran sebagai istri, suami dan anak. Dan tentu bagaimana menjadi manusia yang lebih baik dari belajar kesalahan sebelumnya.
Yang paling saya suka adalah kutipan ini: “Setiap pertanyaan harus terjawab dikamu, setiap persoalan harus selesai dikamu”
Menjadikan cerita film kadang berganti alur ke melo-drama untuk mengenang seorang kang Bahar akan amanahnya kepada kang Muslihat. Selain unsur komedi yang menjadi basic film, unsur dramatiknya agaknya menjadi pengantar untuk menyampaikan messages filosofis yang baik untuk dicerna penonton.
Sehingga penonton keluar dari bioskop tidak saja menjadi lega karena tawa tapi juga membawa nilai sentimentil tentang hidup secara personal. Entah itu menjaga amanah, tanggung jawab, peran sebagai istri, suami dan anak. Dan tentu bagaimana menjadi manusia yang lebih baik dari belajar kesalahan sebelumnya.
Yang paling saya suka adalah kutipan ini: “Setiap pertanyaan harus terjawab dikamu, setiap persoalan harus selesai dikamu”
Rate dari saya untuk film ini
7/10. Menarik dan layak tonton untuk keluarga Indonesia di tanggal 17 Januari
ini! Untuk trailernya bisa klik di bawah ini.
Jangan lupa tinggalkan komen jika berkenan hehehe.
Jangan lupa tinggalkan komen jika berkenan hehehe.
Saya kebetulan tidak mengikuti sinetronnya juga, Mas Andik. Hanya kalau diajak nonton filmnya, saya mau. Soalnya film itu ceritanya sekali habis, kalau sinetron kan bersambung lagi, diulur lagi hehehe.
BalasHapusTapi dari cerita Mas ini, sangat menghibur sih.