Headline Post

Tepuk Tangan Untuk Film “Bulan Terbelah di Langit Amerika”

 
                                                                                    

          Gala premier film Bulan Terbelah di Langit Amerika. Bertempat di XXI Epicentrum, Kuningan Jakarta Selatan. Pada hari Selasa (15/12/15), film ini benar-benar membelah bioskop di awal penayangannya. Bagaimana tidak, tidak saja penonton yang membludak di luar area bioskop. Para awak media dan beberapa tokoh turut hadir di pemutaran film ini.

                Saya mengatakan membelah dalam artian sebenarnya. Penonton dibelah dalam dua studio. Hadir para pemain utamanya, Acha Septriasa, Abimana Aryasatya, Rianti Cartwright, Nino Fernandez dan Hanna Al Rasyid. Beberapa kalangan artis Ridho Roma, Arcana dan artis lain juga hadir. Tokoh penting juga hadir seperti pak Amin Rais. Agaknya bolehlah antrian penonton yang hadir sebagai bukti awal untuk ‘menuduh’ film ini bakal menyuguhkan film religi yang berbeda dari film-film biasanya.

                                                                           

             Film yang dibiakkan oleh Maxima Pictures ini benar-benar film yang fantastis dari sisi budget dan proses syutingnya. Pendapat ini dibenarkan Yoen K sebagai eksekutif film kala bincang ringan beberapa waktu lalu bersama sahabat KOPI. Karena syuting di New York tidak segampang perijinan syuting di Eropa dan sebagainya. Ada tantangan tersendiri membuat film religi bersettingkan tragedi WTC di New York.

                 Sutradara film, Rizal Mantovani juga cerdas saat mengambil benang merah sebagai angle utama film. “Apakah dunia lebih baik tanpa Islam?”. Untuk menjawab pertanyaan itu, Hanum (Acha Septriaa) sebagai jurnalis muslim mencoba membuktikannya. Bersama suaminya, Rangga (Abimana Aryasatya), berangkatlah mereka ke New York. Hanum akan menemui Azima Hussein (Rianti Carthwright) yang kehilangan identitas keagamaannya pasca tragedi WTC. Dan Rangga akan menemui Philipus Brown untuk mewawancarainya. Hingga pada akhirnya mereka seolah ditemukan dalam jalinan takdir yang membuat semuanya menjadi mengerti dan sadar. Bahwa dunia tidak akan baik tanpa adanya Islam. Islam bukanlah agama yang keberadaannya ‘merusak’ tatanan kehidupan. Singkatnya demikian.


              Sedikit mengupas film. Sebagai orang yang memposisikan duduk di kursi penonton, tentu saya punya subyektifitas tersendiri. Sah-sah saja demikian. Saya menyebut film ini sebagai film paket lengkap, tentu dengan segala kekurangan di dalamnya. Lebih dari cukup mewakili mata penonton awam untuk menyebut film ini: bagus!. Tidak berlebihan agaknya saya mengatakan demikian.

                  Pertama, film ini bukan sekadar film religi pada umumnya. Umumnya film Indonesia akan ketebak alur ceritanya. Tapi di film ini rasanya tidak begitu terlihat. Karena kuatnya dialog yang empuk untuk dicerna. Kesan tendensi yang biasanya ada di film religi saat menyebut atau mengutip ayat suci, di film ini diramu menjadi nilai-nilai universal dalam percakapan yang ringan.

                     Kedua, film ini tidak terkesan film Indonesia. Ada semacam citarasa keHollywoodannya saat kita nonton. Karena mungkin beberapa pemeran di dalamnya ada yang bule atau orang luar. Ditegaskan lagi dalam dialog-dialog dalam bahasa inggris yang dituturkan natural dan soundtrack band Arcana membuat kesan kebaratannya juga dapet.

                                                                           

                   Ketiga, film semua kalangan. Ini yang menarik. Film ini dikemas apik, disajikan tidak saja khusus yang Muslim tapi pantas untuk ditonton yang non muslim. Karena di beberapa scene mengajarkan nilai-nilai universal yang sekarang mengendap dalam nilai masyarakat. Seperti toleransi beragama, toleransi bertetangga bahkan sampai toleransi berasmara. Maka cocok kalau film ini juga pantas untuk ditonton kalangan remaja. Kesan romantis, komitmen dalam hubungan percintaan juga menyentil mereka-mereka yang berjibaku dalam asmara.

              Terakhir, film yang cukup emosional. Mampu menempatkan dan menggiring emosi penonton untuk merenung lalu menjewer diri masing-masing. Paling tidak untuk bertanya tentang seberapa rasa bangganya beragama Islam selama ini. Mungkin akan berlebihan kalau disebut film yang membidik pusat kesadaran. Setidaknya film ini mampu mengantarkan kesadaran kita akan nilai-nilai agama yang selama ini kita endapkan, lalu perlahan-lahan naik begitu saja tanpa tersadari. Kemudian secara bersama-sama kita harus bertanya. Apakah kita sudah baik dalam beraga Islam? Apakah kita cukup baik membawa Islam menjadi agama yang membaikkan dunia?.

                 Mari tepuk tangan untuk film Bulan Terbelah di Langit Amerika. Tonton filmnya, mulai 17 Desember ini.

Andik Irwanto

@andik_ir

3 Komentar untuk "Tepuk Tangan Untuk Film “Bulan Terbelah di Langit Amerika”"

  1. Mengakrani artikel AndiK.....serasa menyeruput kopi hitam.yaaa....ayo pake susu dan ksh gula biar lebih berasa, ngertikhan... ayo menulis lagi

    BalasHapus
  2. Mengakrani artikel AndiK.....serasa menyeruput kopi hitam.yaaa....ayo pake susu dan ksh gula biar lebih berasa, ngertikhan... ayo menulis lagi

    BalasHapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel