Headline Post

Mimpi Saridin

Mimpi Saridin, antara tanda tanya dan koma!
Oleh: Andy El Ghazali

            Saridin duduk di kelas 1 SMP. Dia siswa yang pintar. Sejak kelas satu, dia selalu di posisi terdepan dalam hal juara kelas. Bukan, bukan dari kelas satu, tepatnya waktu dia mulai duduk di bangku SD. Dan tahukah hanya satu orang yang menghimpit di belakang sepak terjang kecerdasannya. Orang itu tak lain diriku sendiri. Pesaing sengit di kelas tapi sekaligus sahabat terbaik dalam mengarungi kerasnya hidup. Ini kisah bukan tentang diriku, tapi Saridin dalam memaknai keberadaan ayahnya, keluarganya juga tentang mimpi-mimpinya. Tidak sekadar mimpi belaka tapi memaknai hidup dengan penuh kedewasaan.

            Aku mengenal dia seperti  mengenali diriku sendiri. Aku dan dia satu sekolah, satu kelas, satu bangku, hanya nasib tipis yang membuat perbedaan di antara kami . Di dalam dirinya sebagian diriku dapat kumaknai. Di dalam dirinya sebagian diriku dapat kutemui. Itulah alasan kenapa cerita mengenainya begitu penting buatku.

            Cita-citanya sungguh elegan, aku mengatakan cita-citanya walau dia merasa itu hanyalah sebuah obsesi dalam hidupnya. Bukan tak ‘mau’ bercita-cita atau apa, keadaan yang memaksanya untuk lebih mudah mengatakan itu sebuah obsesi daripada sebuah cita-cita. Pelajaran favoritnya Fisika. Dalam pelajaran ini dia selalu meraih nilai sempurna, Bu Fitri-guru Fisika-selalu tersenyum bangga dibuatnya. Dia jugalah yang sering mewakili sekolah untuk lomba-lomba tingkat kapubaten maupun propinsi.

            Semenjak menemukan majalah National Geographic di perpus saat masuk di hari pertama sekolah, ia menobatkan diri ingin menjadi pakar dalam cabang ilmu Fisika. Dia ingin menjadi penguasa ilmu Astrofisika, mempelajari tentang cabang astronomi yang berhubungan dengan jagat raya, baik segi fisik, suhu, kepadatan, unsur kimia maupun planet-palnet yang bertebaran dalam jagat raya ini, begitu katanya padaku. Tidak hanya itu, gara-gara majalah itu pula ia ingin belajar ilmu Ekologi, sebuah ilmu yang mempelajari berbagai genre mahluk hidup di dunia ini. Sebuah ilmu yang  berharap dia bisa menyelami hutan-hutan jauh di pedalaman Amazon sana.

            Ayahnya-Karmin- amat bangga akan cita-cita Saridin. Itu memang cukup masuk akal.  Saridin adalah anak satu-satunya yang bisa dibilang diharapkan kedepannya. Mengingat adik satu-satunya Saridin bernama Sri-terserang polio sejak umur lima tahun belum lagi mentalnya juga agak terganggu. Praktis, ayahnya pendukung utama dalam kesuksesan Saridin. Mungkin ayahnya juga berharap keberhasilan Saridin kelak akan mengakhiri strereotip lama tentang keluarganya yang buta akan tulis dan baca.

            “Andy, apakah kamu tahu suatu saat Saridin akan menjadi ilmuwan...?” kata ayahnya kepadaku saat berkunjung ke rumahnya.
            “Benar Pak, nggak diragukan lagi kelak dia akan menjadi seperti yang bapak harapkan...”aku meyakinkannya.

            Harapan menjadi ilmuwan itu juga yang memompa semangat Pak Karmin dalam bekerja.Tak kenal mengeluh meski harus banting tulang di terik siang. Yang ia bayangkan bagaimana  membahagiakan Saridin, walaupun Saridin juga mahfum tentang keadaan keluarganya. Tapi memang benar bahwa sosok orang tua bagaimanapun pasti akan mengorbankan apapun demi anaknya. Itulah yang aku lihat dari sosok Pak Karmin.

****
            “..Hari senin, praktik Fisika semua wajib membawa alat-alat yang di perlukan...” Bu Fitri mengkomando pada seluruh siswa.
            “....gunting, thermometer,korek,…dan lainnya harap dibawa..,tambah Bu Fitri.
            “..untuk thermometer  karena hanya ada dua, minggu depan semua harus punya satu-satu..” kembali ia menegaskan sesuatu.

            Karmin sering mengajak ngobrol denganku, apapun tak akan pernah habis ngobrol dengan Pak Karmin ini. Tapi yang jelas ia punya maksud lain ketika harus ngobrol denganku, tak lain dan tak bukan ini semua akan berujung pada satu orang-Saridin. Tak ayal, akupun berusaha meladeni setiap cerita-ceritanya meski semua berkutat tentang Saridin. Sesekali aku juga menceritakan bagaimana Saridin di kelas, tentang Bu Fitri, teman-temannya. Lucunya semua cerita harus selalu kuhubungkan dengan Saridin. Dengan begitu Pak Karmin matanya berbinar-binar, penuh bangga dan bahagia. Perihal praktikum fisikapun menjadi topik perbincangan hangat yang aku suguhkan padanya.

            Keesokannya, semenjak obrolan itu ternyata Pak Karmin merekam satu istilah tepatnya sebuah nama alat ‘thermometer”.  Di situ ternyata dia menangkap sebuah peluang untuk ia jadikan alasan membahagiakan Saridin dengan membelikan sebuah alat yang baginya asing dan aneh di telinganya. Dari nada bicaranya, ia tahu anaknya pasti membutuhkan alat asing itu. Sebaliknya, meski masih duduk di kelas 1 SMP, Saridin paham bahwa ayahnya tak punya uang. Dia pun tahu bagaimana harus mengampil sikap, tak pernah minta dibelikan apapun. Tak pernah sekalipun dari dulu sampai sekarang. Sampai pelajaran Fisika kali ini, bahkan sampai kapan aku sendiri juga tak tahu.

            Kali ini Pak Karmin terobsesi dengan alat asing tersebut. Tiap hari berusaha mencari tahu tentangnya lalu menganalisis dengan caranya sendiri dalam menemukannya. Semenjak mendengar alat itu ia menangkap bayangan Saridin yang penuh rasa bahagia jika memegang alat itu. Di situlah ekstase kebahagiaan dalam hatinya terbentuk. Terbentuk dalam kepolosan seorang ayah yang ingin membahagiakan anaknya.

            Ia bekerja lebih giat, pagi-pagi sehabis shubuh ia harus melompat ke truk pengangkut untuk dibawa bersama rombongan lain. Di situ Karmin, ayahku dan sebagian besar laki-laki harus menebang ribuan batang tebu.  Dengan sebuah alat yang disebut Arit(alat untuk menebang tebu), Pak Karmin bekerja. Tebu-tebu dijadikan satu, diikat kuat dengan kupasan kulit tebu menjadi sebongkok besar. Tangannya yang perkasa mengangkat dan memikul tebu-tebu ke dalam truk pengangkut. Bolak-balik sejauh luas kebun tebu itu sendiri dengan beban pikul dua-tiga kali berat tubuhnya. Dari pagi buta sampai gelap hari. Setiap hari. Setiap masa panen tebu dimulai. Setiap tahun juga sepanjang hidupnya sampai saat ini. Bagi kumpulan laki-laki di kampung kami masa panen tebu adalah hari-hari yang ditunggu, karena saat itulah tiap keluarga punya sisa uang lebih untuk bayar sekolah anaknya. Minimal bisa membelikan sebuah buku baru atau sesuatu buat kebahagiaan anaknya. Persis seperti perilaku Pak Karmin terhadap Saridin.

            Jika hari libur atau ketinggalan truk penjemput ia kuatkan sisa tenaganya untuk mencari kayu bakar di hutan untuk dijual di pasar. Setelah berhari-hari melakukan pekerjaan itu berharap dapat terkumpul uang. Berfokus hanya untuk membeli alat aneh itu pula, akhirnya Pak Karmin akan punya cukup uang untuk membahagiakan Saridin. Dan berita gembira itu tak sungkan ia bagi khusus untuk anaknya.

            “Saridin, sekarang kamu harus lebih giat lagi belajar. Ayah akan kasih kamu sebuah kejutan..,”alat aneh itu.
            Saridin terkejut, bukan kepalang.
            “ah...apa itu, Pak? ” napas tertahan
            kata Andy kamu perlu alat sekolah, speedometer,,,,tak salah lagi speedometer....” kata Pak Karmin dengan lugunya. Tak menyadari bahwa ia salah menyebut namanya, thermometer disangkanya speedometer.

            Saridin hanya tersenyum mengiyakan menanggapinya keluguan ayahnya. Memahami, ternyata tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang dalam memahami sebuah alat.

            Ah..mungkin ia sering mendengar istilah itu dari orang-orang di kebun tebu, pasalnya mereka-para kuli tebu-sering bergossip ria tentang sepeda motor ketika jam istirahat siang. Tentu tentang anak-anak mereka yang suka main kebut-kebutan di jalan yang akhir-akhir ini memang meresahkan warga. Dari situ kemungkinan Pak Karmin mencomot istilah itu secara tak sengaja sehingga tertukar namanya....lucu. Selain buta huruf, Pak Karmin memang ditengarai mengidap penyakit lupa alias pikun, dikarenakan faktor usianya. Pernah suatu saat ketika mandor tebu menyuruhnya membelikan obat sakit kepala, malah dibelikan obat flu-mungkin karena namanya sama-sama berakhiran –mex.

***
            Agaknya Saridin juga penasaran perihal kejutan ayahnya, beberapa hari ini ia tak bisa tidur memikirkan kejutan alat ‘speedometer ayahnya. Agaknya Karmin juga mencium gelagat perilaku Saridin yang senyum-senyum sendiri, kali ini Saridin terserang syndrom hadiah ayahnya. Dan Pak Karmin memahami betul akan hal itu.

            Tanpa buang tempo, pagi ini di hari minggu, Pak Karmin meliburkan diri demi membelikan alat itu. Dengan sepeda onta tua warisan orangtuanya, Pak Karmin melaju cepat dengan sepedanya menuju satu tempat di ujung jalan Kecamatan. Toko “ANEKA ALAT”, bunyi sebuah plang di depan toko. Nama sebuah toko yang ditanyakan Pak Karmin padaku tempo hari. Di situ kebahagiaan Saridin akan terwujud sebentar lagi.

            Kejadian lucu terjadi lagi. Pak Karmin salah lagi bukan salah lagi tapi memang salah. Meski sudah berulang kali kubenarkan nama alat itu, Pak Karmin masih menyebutnya dengan sebutan speedometer bukan thermometer. Entahlah mungkin karena begitu bersemangatnya. Tak ayal Pak Karmin menjadi bahan ketawaan di areal toko itu.


            “…eee..alat anu, untuk anak saya mau buat sekolah, alat ngukur panas…” kata Pak Karmin terbata-bata dengan tata bahasa berserakan saat coba mendefinisikan alat itu.
            “…ooo..itu namanya thermometer, Pak bukan speedometer, bapak salah..”  pelayan toko membenarkannya. Tentu sambil menahan tawa. Pak Karmin hanya mengangguk entah mengerti atau tidak.

            Uang lusuh lima puluh ribuan ia ambil dari kantong celananya lalu ia serahkan pada pelayan toko. Tidak hanya itu Pak Karmin juga membelikan buku satu pak dari sisa uang kembalian tadi. Dibungkus rapi alat dan buku itu lalu dengan senyum mengembang ia bergegas meninggalkan toko.

            Di sepanjang jalan Pak Karmin terheran-heran akan bayangan alat thermometer di toko. Baginya alat ini aneh seaneh namanya. Bentuknya serupa botol kaca yang ditaburi angka-angka di kanan kirinya. Kolaborasi antara botol dan penggaris mungkin begitu pikirnya, hanya bentuknya saja agak tipis nan ramping. Tapi ia tak ambil pusing, baginya alat inilah tata letak mimpi Saridin selanjutnya.

            Di dalam kamar Saridin sibuk belajar dan menyiapkan persiapan untuk sekolah besok pagi. Tepat di hari ini ia menunggu ayahnya membawakan alat itu untuk praktik pelajaran favoritnya. Hatinya tak sabar menanti hadiah istimewa pertama semasa sekolahnya juga sepanjang hidupnya.

            Ketika ayahnya tiba, dia segera menghambur keluar menemuinya. Dia diam seribu bahasa melihat ayahnya menenteng sebuah bungkusan di tangannya.

            “Saridin…ini hadiahmu yang kujanjikan itu. Bukalah dan lihatlah, “ kata ayahnya dengan nafas yang berat karena kelelahan. Timbunan keringat mengalir penuh menutupi muka ayahnya.
            “…yang ini buku-buku buat kamu juga, biar kamu gak campur-campur semua yang diajarkan guru-guru di sekolah. Mulai besok pagi kamu bawa buku dan alat ini untuk belajar.”Ayahnya menyerahkan bungkusan.

            Saridin tersenyum lebar kali ini. Mulutnya tak henti berucap terima kasih pada ayahnya. Dia bergegas ke kamar. Dia membuka bungkusan itu. Pelan-pelan hingga terpampang sebuah alat ajaib pemberian ayahnya. Thermometer. Sebuah alat yang akan melompatkan mimpi-mimpinya menjadi ilmuwan. Saridin terdiam dalam senyap. Perlahan-lahan air matanya meleleh untuk sebuah alasan yang tak begitu ia mengerti. Bingung antara tangis bahagia atau tangis sedih. Semenjak saat itu ia berjanji akan membahagiakan ayahnya dan berusaha mewujudkan cita-cita dirinya. Menjadi ilmuwan sepeti Yohanes Surya.

***
            Hari ini cuaca begitu cerah, indah tak seperti biasa. Mewarnai kebahagiaan hati seorang siswa yang sedang tekun di kelasnya. Pagi ini praktik fisika seperti yang dijanjikan Bu Fitri tempo hari. Ada satu siswa yang terlihat begitu bahagia dari pada yang lain siswa itu bernama Saridin. Dari raut mukanya ia begitu tekun dan serius di pelajaran favoritnya kali ini. Dadanya sesak. Dia masih membayangkan perjuangan ayahnya dalam membelikan alat yang ia pegang. Bagaimana ayahnya mengumpulkan uang tiap hari, membayangkan ayahnya pontang-panting naik sepeda. Dan yang paling membuatnya haru ketika mendengar ayahnya salah melafalkan nama alat itu. Pengorbanan tulus ayahnya itulah yang selama ini menjelma menjadi kekuatan dalam semangat belajarnya. Tak heran ia selalu unggul dalam mengejar prestasi. Menjadi kekuatan tersembunyi Saridin yang selama ini tak dimiliki oleh siswa lain bahkan termasuk diriku.

            Ibu Fitri begitu antusias melihat siswanya semakin rajin. Mengingat pelajaran Fisika kadang menjenuhkan dan menakutkan bagi sebagian besar siswa. Tidak untuk kali ini karena semua siswa terlihat bersemangat.
            “…perhatian untuk semua !, tolong praktik yang serius ,,,Ibu tinggal dulu sebentar ke ruang kepala sekolah. Kalau ada yang ditanyakan bisa bekerjasama dengan yang lain..”bu Fitri pamit meninggalkan ruangan lab.
            “..iya,,Buu..”jawab serentak
            “..lama gak bu..?”tanya seorang siswa.
            “..Nggak..Ibu tinggal 10 menit, kalau ada pertanyaan silakan ditanyakan ke Saridin..”

            Ruangan lab mulai ramai semenjak Bu Fitri berlalu. Saridin hanya fokus pada thermometer. Praktikum kali ini meneliti pengaruh kalor terhadap perubahan suhu dan perubahan wujud. Mata Saridin tak bergeser pada angka-angka penunjuk suhu. Kemudian dengan seksama mencatat hasil pengamatannya di buku barunya. Sementara siswa lain asyik dengan sendirinya.

            Beberapa saat kemudian datang bu Fitri. Seperti yang ia janjikan 10 menit sebelumnya.

            “..Perhatian semuanya. Tolong hentikan sejenak aktivitas kalian..!”Bu Fitri terlihat mengumumkan sesuatu.
            Biasanya pengumumam pasti tentang lomba. Paling sering lomba cerdas cermat antar sekolah atau mewakili sekolah dalam perlombaan tertentu. Dan yang sering kebagian lomba tak lain Saridin walau kadang juga diriku. Tapi kali ini raut wajah Bu Fitri terlihat berbeda. Entah kenapa semua juga tak tahu.

            Bu Fitri lain ketika melihat Saridin yang tengah serius mempraktikkan alatnya. Ia mendekati Saridin. Semua siswa terlihat memperhatikannya termasuk diriku. Bu Fitri berusaha menahan perasaannya. Ia mengajak Saridin keluar ruangan sebentar. Tapi Saridin enggan karena ia tengah asyik dengan alat barunya.

            Bu Fitri bersikeras membujuknya tapi Saridin juga bersiskeras ingin tahu alasannya. Kenapa harus keluar jika memang itu tentang lomba seperti biasanya, begitu pikir Saridin. Di sisi lain tak mungkin Bu Fitri mengabarkan peristiwa ini di hadapan teman-temannya. Entahlah.

            “..Bu..ternyata jika sebuah benda dipanaskan, maka suhu benda akan naik..”analisis Saridin pada bu Fitri.
            “..tapi ketika terjadi perubahan wujud  pada suatu benda ternyata selalu disertai pelepasan atau penyerapan kalor..” tambah Saridin dengan serius.
            “…Saridin…sebentar, Ibu mau memberi…”kata Bu Fitri .
            “..akan tetapi perubahan wujud tidak disertai perubahan suhu..dan..,” kata Saridin memotong pembicaraan.
            Bu Fitri berusaha tersenyum dan membujuknya lagi. Bu Fitri tak punya alasan lagi. Kali ini bu Fitri memotong analisis Saridin.
            “Saridin ayahmu meninggal, segeralah pulang. Maafkan Ibu harus memberitahumu seperti ini.”
            Saridin terdiam kaku. Mulutnya ternganga seolah ingin berucap sesuatu. Semua siswa terdiam. Terpekur dalam senyap secara tiba-tiba. Mata Saridin mulai memerah.
            “…Ibu pasti salah. Tadi pagi ayah sempat berpamitan denganku sebelum berangkat kerja.,” suara Saridin melemah. Menatap kosong ke teman-temanya. Meminta pembenaran. Saridin bergetar.
            “…kata warga, truk penjemput ayahmu bertabarakan dengan sebuah bus.”
            Saridin tak kuasa menahan tangis yang coba ia tahan-tahan di hadapan teman-temannya.

            Ia kemudian membereskan semua peralatannya. Air matanya mulai jatuh tak terbendung. Panik membuatnya tak menguasai diri. Thermometer pemberian ayahnya ikut jatuh pecah seiring pecah tangisnya. Berserakan di lantai. Saridin tak peduli lagi. Ia segera bergegas dan berlari pulang  untuk melihat ayahnya. Melihat ayahnya untuk terakhir kalinya.

            Rumah Saridin penuh dengan orang. Jenazah ayahnya terbujur kaku penuh dengan luka jahitan. Dia meratapi bersama adik dan Ibunya. Air matanya membanjir tiada henti. Semua telah menunggu dia untuk memakamkan jenazah ayahnya segera.

            Kabar berhembus. Korban kecelakaan yang meninggal dua orang, satu adalah ayahnya  yang kedua adalah sopir truk na’as itu.Sebenarnya Pak Karmin tak biasanya duduk di depan bersama sopir. Mungkin karena alasan penuhnya penumpang membuatnya duduk di depan. Memang sudah sering terdengar jika di jalan menuju kebun tebu marak terjadi kecelakaan. Hampir tiap musim panen tebu selalu memakan korban.

***
            Maghrib menjelang. Saridin dan keluarganya pulang ke rumah. Tetangganya satu persatu pulang ke rumah masing-masing. Semua hening. Bisu. Memandangi seisi rumah.  Padahal jam-jam seperti inilah Saridin dan Ibunya biasa menanti ayahnya pulang dari kerja. Menanti bungkusan , berisi potongan buah semangka yang disisakan ayahnya dari makan siang. Atau kalau tidak sepotong roti, golang-galing dari uang kembalian sehabis minum kopi.

 Mereka hanya diam, saling berpelukan membayangkan betapa kehilangan yang amat atas meninggal ayahnya. Inilah tragedi terbesar yang mengguncang jiwanya. Dan anak seusia Saridin harus menanggung ini semua.
            Esoknya Saridin bangun lebih awal. Sementara ibunya ke dapur memasak sesuatu. Saridin masih shok atas peristiwa memilukan dalam hidupnya ini. Membayangkan nasib pilu keluarganya. Tak ada lagi penyangga hidup utama bagi keluarganya. Sementara tak ada lagi sanak saudara yang bisa diminta bantuan, semua telah berkeluarga dan tinggal jauh.

            Baginya tak pernah terbayangkan akan memikul beban hidup sedemikian beratnya. Dia kini menyadari untuk anak seusianya-kelas 1 SMP- harus mengambil alih sebagai penyambung hidup buat keluarganya, buat adik dan ibunya. Kini dia harus memikul tanggung jawab itu, menghidupi adik dan ibunya. Dilematis nan memilukan ketika harus membayangkan kedepannya. Tentang sekolahnya. Tentang cita-citanya menjadi ilmuwan seperti Yohanes Surya.

****
            Mereka adalah teman sekelas dan sahabat terdekat Saridin. Tampak mereka hanya diam, aku juga. Saridin mengucap perpisahan. Ia memutuskan untuk bekerja. Saridin memeluk semuanya. Air mataku jatuh tak terbendung lagi. Seluruh teman-temannya seakan tak menyangka akan sedemikian cepat Saridin berlalu untuk selamanya. Hati terasa begitu sesak dan berat. Rasa kehilangan tiba-tiba merasuk dengan cara yang tak bisa dijelasakan.

            “…teman-teman kita akan bertemu lagi, suatu saat nanti..percayalah..,” katanya dengan penuh senyum.
            “aku akan terus belajar meski tidak harus sama seperti kalian…” kata Saridin mencoba menghibur.
            Bu Fitri tak kuasa melihat kejadian ini ikut menghambur. Dipeluknya Saridin seperti anaknya sendiri. Air matanya bercucuran membasahi seragam terakhir Saridin. Semua siswa makin ikut menjadi-jadi dalam ratap tangis.

            Bu Fitri mencoba berkata sesuatu. Sebuah nasihat.

            “..Kau harus kuat. Belajarlah untuk kau kejar cita-citamu itu..,”
            “..Tenanglah, Tuhan akan menjawab semuanya saat kau dewasa nanti. Dalam hidup ini mulailah dari apa yang kau bisa bukan dari apa yang kau ingin. Maka kau akan belajar sesuatu…Tetaplah akan cita-citamu, Anakku…”nasihat Bu Fitri padanya.
            “..Berbuatlah yang terbaik di mana saat ini kau berdiri, InsyaAllah kau akan berhasil..”kata terakhir untuknya.

            Saridin berlalu. Dipandanginya seluruh teman-temannya, termasuk Bu Fitri. Hari terakhir masuk sekolah. Hari yang sekaligus mengakhiri hari-hari bersama temannya. Di situlah kenangan indah akan mimpinya akan berakhir. Entahlah apakah memang benar-benar berakhir. Yang ada kini Saridin akan merantau ke kota untuk bekerja menghidupi keluarganya. Meninggalkan ibu dan adiknya. Meninggalkan semuanya. Kampung halamannya. Mimpi-mimpinya. Yang kini masih terselip di antara tanda tanya ataukah koma. Hanya Tuhan yang punya kunci jawabannya.

Tangerang, 190413
dini hari yang senyap







Belum ada Komentar untuk "Mimpi Saridin"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel