Headline Post

Yang Luput dari Film Wiro Sableng 212


Wiro Sableng & 20 Fox

Rate: 7/10

Sinopsis

Nusantara abad ke 16, Wiro Sableng (Vino G Bastian), seorang pemuda, murid dari pendekar misterius bernama Sinto Gendeng (Ruth Marini), mendapat titah dari gurunya untuk meringkus Mahesa Birawa (Yayan Ruhian), mantan murid Sinto Gendeng yang berkhianat. Dalam perjalanannya mencari Mahesa Birawa, Wiro terlibat dalam suatu petualangan seru bersama dua sahabat barunya Anggini (Sherina Munaf) dan Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarizi). Pada akhirnya Wiro bukan hanya menguak rencana keji Mahesa Birawa, tetapi juga menemukan esensi sejati seorang pendekar.

Review

Cast Karakter Wiro Sableng
Kalau tak salah, menjadi film kelima dari Lifelike Pictures yang diedarkan secara luas(release) setelah Pintu Terlarang (2009), Modus Anomali (2012), Tabula Rasa (2014) dan Banda The Dark Forgotten Trail (2017), adalah sebuah peneguhan kalau-kalau PH satu ini tidak sembarang memproduksi sebuah film—Indonesia. Peneguhan itu kembali diparipurnakan dengan sebuah penjajakan sekaligus lompatan—yang perlu diapresiasi—dengan menggandeng 20th Century Fox sebagai co production pertama di Asia Tenggara.

Memang sebuah ketakjuban ketika Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 berhasil tayang di bioskop (30 Agustus ini). Pastinya akan memantik rasa rindu dari para fans lawas seperti saya untuk sekedar menjadi nostalgic romantic ketika menonton ulang dengan format lain seperti ini. Di sisi lain agaknya memberi oase baru bagi para penonton film Indonesia akan hadirnya pahlawan asli Indonesia ke layar lebar. Sekaligus mengedukasi buat para milenial yang tak begitu tau menahu tentang film ini sehingga mendetoksifikasi dari tontonan absurd nan polutan belakangan ini.

Saya juga mafhum kalau orang Indonesia sudah ‘mempersiapkan diri’ menyambut film ini. Jadi ga heran ketika Wiro Sableng kemudian menjadi film yang diperbincangkan banyak kalangan. Hal ini saya buktikan setelah sehari berselang press screening & conference, iseng-iseng saya posting sebuah status di medsos. Timeline medsos mendadak ramai dengan celoteh mereka yang sangat penasaran Wiro Sableng seperti apa, banyak orang bilang tidak ingin melewatkan film ini, orang yang penasaran efek CGInya bagaimana dan seterusnya.

Saya termasuk beruntung bisa menyaksikan gala premiere di XXI Epicentrum atas undangan temen-temen blogger. Pada intinya, untuk sesaat tampaknya Wiro Sableng bisa menjadi semacam standar baru film action-fiction yang mumpuni penggarapannya meski tidak menampik masih banyak PR di dalamnya—untuk disebut-sebut sebagai film bagus.

Meskipun saya sebagai orang Indonesia bukan berarti saya harus mendukung film Indonesia dengan mainstream membabi-buta. Hanya karena film tersebut di produksi dalam negeri dengan kualitas sekian dan sekian. Nah, saya kadang termasuk orang yang subyektif dalam mereview. Karena yang saya lihat obyek filmnya bukan latar belakang penggarapannya. Sebagai penikmat film amatir, entah kenapa untuk film Indonesia saya akan selalu menyetting ekspektasi di radius—‘tidak semengecewakan yang diharapkan’—ketika sebuah film itu cukup bagus atau lumayan. Dengan  begitu mengurangi diri untuk tidak jatuh pada jurang kekecewaan lebih dalam. Pun termasuk film Wiro Sableng ini. Karena menikmati sebuah film sekadar sebagai hiburan dan film sebagai tontonan yang dikritisi adalah hal yang beda.

Sebelum saya menulis inipun gregetan untuk merefresh pikiran saya dengan menonton ulang beberapa episode Wiro Sableng versi peranan Ken Ken (tayangan TV) di youtube. Kemudian alam bawah sadar sayapun secara alami ikut membandingkan(bukan untuk mencari yang bagus atau jelek), untuk mencari jawaban akan kebingungan saya di beberapa scene di Wiro Sableng versi layar lebar dan .....voila! Momentum yang sama membawa saya flashback ke ingatan ke masa-masa sekolah yang saban minggu rela menunggu jam 11 hanya untuk menunggu kelanjutan film Wiro Sableng di tv seperti apa. Saking asyiknya tingkah konyol tempo dulu yang begitu membekas dengan film ini perlahan naik ke permukaan sadar. Seperti menggambar angka 212 di dada, membuat kampak 212 dengan tanah liat, termasuk mempraktikkan beberapa jurus khas wiro he..he..he. Kalau kalian pernah melakukannya berarti kalian ....assyudahlah (sudah tua).

Wiro Sableng biakkan Lifelike Pictures dan 20th Century Fox ini memakan waktu 1.5 tahun penggarapannya. Digawangi oleh produser Sheila Timothy dengan skala budget yang besar tentunya. Dengan mengadaptasi novel karya alm. Bastian Tito yang terdiri 185 buku selama 39 tahun lamanya, menjadikannya sebuah intectual property terlama dan terpanjang di Indonesia. Menurut saya di situlah tantangan sekaligus tanggungan resikonya ‘kenapa’ film ini dibuat. Akankah semenarik dan mengikat seperti tayangan TVnya atau malah sebaliknya. Biar penonton yang mengadilinya. Apalagi karya Bastian Tito ditransformasikan ke layar lebar lewat pewaris seninya—sekaligus anaknya—Vino G Bastian. Yang saya yakin menjadi ‘amanah’ seni yang tidak mudah baginya.

Sebagai tokoh sentral karakter Wiro di sinetron tv yang diperankan Ken Ken dan versi Vino agak berbeda secara karakter. Agaknya ada pergeseran karakter yang disesuaikan zamannya. Saya maklumi ini sebagai bagian untuk memperkenalkan tokoh Wiro menjadi lebih dekat dan diterima dengan penonton sekarang. Sangat terlihat dari jokes yang dilontarkan Wiro di sini. Yang paling terngiang dan nampol penyebutan Syahrini yang pecah abis, jokes antar sahabat yang tidak mau mengalah dan seterusnya.

Engga nyangka juga Vino bisa berantem sehebat ini di film. Salah satu yang membuat kecewa di sini adalah eksplorasi jurus-jurus Wiro Sableng yang kurang maksimal diterapkan. Bahkan jurus kunyuk melempar buah sebagai salah satu jurus andalan dan fenomenal malah luput dari karakter Wiro. Hanya jurus pukulan Matahari sebagai khas kekuatan yang ditonjolkan. Ciri khas pertarungan outdoor Wiro Sableng dengan gaya terbang atau lari di udara yang nihil. Saya terkesima saat Ken Ken muncul sebagai cameo dengan iringan part musik tayangan TV. Untuk sesaat saya dan semua penonton memberi applause respect. Apalagi di situ Vino seolah-olah menaruh hormat dan meminta ijin.

Wiro Sableng
Berkisah saat Wiro kecil yang orang tuanya dibunuh oleh Suranyali(Yayan Ruhian) yang dulunya murid Sinto Gendeng—(selanjutnya disebut Mahesa Birawa). Kemudian Wiro diselamatkan dan diasuh oleh Sinto Gendeng(Ruth Marini) yang selanjutnya mengangkatnya sebagai murid. Setelah bertahun lamanya saatnya Wiro mengemban tugas dari gurunya membawa kembali Mahesa Birawa (sebagai balasan) karena telah berkhianat. Dengan begitu dirinya resmi didaulat sebagai Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Bersenjatakan kapak dan batu hitam. Dalam petualangannya Wiro akan bertemu Anggini (Sherina Munaf) dan Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarizi) sebagai kawannya. Kemudian bersama-sama menggagalkan konspirasi tahta kerajaan yang melibatkan Mahesa Birawa sebagai musuh utamanya. Termasuk upaya penyelamatan Putri Rara Murni (Aghniny Haque) dan sang Pangeran (Yusuf Mahardika) dari penculikan.

Film dibuka dengan suguhan efek CGI (Computer Generated  Imagery) berupa bulan merah raksasa dan hewan yang memanjakan mata sekaligus menggiring awam untuk berdecak kagum dan bilang ‘wow’ untuk sesaat karena begitu smooth. Selanjutnya penonton langsung dilabrak adegan laga sebagai jualannya utama film. Mengusung genre action-fantasy khas Indonesia, film ini dibuat dengan memasukkan Pencak Silat sebagai style laganya. Arahan koreografi dari Yayan Ruhian menjadikan silat menjadi adegan lentur untuk dilihat yang dipadukan atau dikombinasikan Fantasi khas Nusantara oleh Adrianto Sinaga.

Selain akting  Ruth Marini sebagai Sinto Gendeng yang tampak lebih serem dan gendeng. Ada dua tokoh yang mencuri perhatian saya yaitu Anggini (Sherina Munaf) dan gurunya Dewa Tuak (Andi/rif) yang diperankan dengan sangat baik. Berbicara Sherina akan mengantarkan kita pada dia di masa petualangan Sherina. Nah sekarang beradegan laga dengan rentang tahun yang lama untuk acting kembali. Tidak buruk. Lebih gila lagi Andi/rif yang berlatar belakang musisi menjadi berbelok ke seni peran namun sangat baik penjiwaannya. Sangat cocok dan tak terlihat jika di balik sosok Dewa Tuak adalah seorang musisi. Lain halnya dengan Marcel Siahaan sebagai ayah Wiro saat kecil yang menurut saya masih kaku, baik dari cara beraktingnya ataupun ekspresi emosinya.

Memang tak dapat dipungkiri lewat Wiro Sableng ini para (Visual Effects) VFX artist Indonesia benar-benar menunjukkan karyanya—yang kerap dianggap sebelah mata—punya ruang ekpresi dan kreasi yang begitu passionate. Sehingga ke depan perfilman Indonesia semakin percaya diri untuk bermain di wilayah ini.

Di beberapa scene saya menemukan visual efects yang memanjakan mata mulai intro menuju pembuka film, transisi flashback, penerapan di aksesori pendukung berupa kekuatan, jurus maupun efek ketika terbang yang cukup smooth. Terutama saat scene Wiro flashback ke masa kecil saat orang tuanya dibunuh dan perubahan Sinto Gendeng dari muda ke tua yang aduhai.

Untuk menghasilkan efek yang memuaskan tersebut melibatkan sekitar 93 VFX artist asli Indonesia. Meskipun begitu beberapa scene masih terasa kasar dan komikal. Seperti adegan perkelahian Wiro, dan sahabatnya di atas pohon yang kemudian jatuh di sungai. Entahlah kalau memang dibuat demikian. Tetapi terlihat sangat kontras jika diperhatikan.

Anggini, Wiro Sableng & Bidadari Angin Timur
Tema Indonesia sengaja dimunculkan dengan adanya Fantasi khas Nusantara dari Adrianto Sinaga (Production Designer) ft Chris Lie dari Caravan Studio. Alhasil, sentuhan tangan ajaibnya 300 rancangan kostum dan 150 senjata berhasil diaplikasikan secara apik di setiap karakter. Yang memikat saya adalah kostum yang dikenakan Marsha Timothy yang membuat karakter Bidadari Angin Timur begitu mempesona. Gaunnya menjadi glowing ketika turun dan meluncur ke bawah dengan tambahan efek yang ciamik. Konon gaun ini juga dapat sentuhan dari Tex Saverio yang semakin elegan.

Saya cukup menaruh respect di bagian scoring music dari tatanan musik oleh Aria Prayogi yang begitu anthemic. Ada rasa-rasa kolosal seperti di Transformer Last Knight saat hentakan-hentakan suara kudanya beraksi. Meski saat adegan tarung kadang terlalu lantang sehingga beradu saing dengan suara tokoh namun tetap memihak telinga penonton untuk terus menatap layar. Luangkan waktu sedikit untuk menikmati musik yang asyik di penghujung credit tilte dari Koil berjudul Aku Lupa Aku Luka.

Setelah saya menonton ulang versi sinetron beberapa episode yang berkaitan dengan plot cerita. Meski awalnya hanya untuk mencari jawaban atas kebingungan saya di beberapa scene yang sepertinya butuh penjelasan. Sehingga jawaban di versi sinetron menjadi semacam kekurangan di  versi layar lebarnya. Naskah yang turut digarap Lala bersama Tumpal Tampubolon dan Seno Gumira Adjidarma membuat cerita begitu padat dengan tokoh untuk dipertunjukkan. Alhasil, sang sutradara Angga Dwimas Sasongko terkesan harus mengekseskusi sebalance mungkin.

Beberapa scene yang tercatat di benak saya adalah kenapa Suranyali tau-tau berubah namanya menjadi Mahesa Birawa (jawaban; nama Mahesa Birawa diberikan guru barunya setelah ia berkhianat dari Sinto Gendeng), kok tiba-tiba ada sebuah tahta kerajaan (jawaban; kerajaan itu adalah kerajaan Padjajaran yang dipimpin Kamandaka, yang terjadi perebutan kekuasaan karena perbedaan keturunan ahli waris tahta), bukannya kalau turun hujan itu api akan padam ya saat pembakaran mayat Putri Rara Murni?. Lho ini Mahesa Birawa tiba-tiba sudah bersekutu dengan para pendekar golongan hitam di tengah-tengah film (jawaban; wah yang ini saya juga tak tahu hehehe...). Ah masa sih seorang anak raja gampang jatuh cinta dengan seorang pendekar begitu saja padahal baru ketemu. Dan seterusnya.

Hal ini lah yang selalu melatarbelakangi sekaligus kekurangan film Indonesia secara umum; materi cerita yang kurang kuat atau eksekusi naskah yang dipaksakan. Jika disimpulkan, seakan menonton Wiro Sableng mengingatkan saya menonton Avenger Civil War tentu dengan format lain. Pertempuran antara dua kubu yang saling berseberangan. Perbedaannya yang mencolok adalah di Avenger Civil War setiap karakter tokoh-tokohnya begitu kuat diperkenalkan (karena punya film masing-masing). Keistimewaan tokohnya melekat dari nama latar belakang dan keunikan kekuatan tiap tokoh. Di Wiro Sableng saya tak menemukannya( ya karena memang tak cukup ruang). Terutama di kubu Mahesa Birawa, praktis hanya dia seorang yang dikenalkan ke penonton sejak awal. Tokoh lain hanya sekilas sehingga penonton diajak menebak-nebak siapa tokoh ini, karakternya seperti apa lewat acting, tampilan baju dan disaat tokoh musuh mengeluarkan jurus berupa efek kekuatan sebagai petunjuk akhir. Apalagi tokoh pemegang bunga yang mati begitu saja di tangan Anggini.

Saya (coklat) dan temen2 TDB
Meskipun durasi film begitu panjang (123 menit) ternyata tak cukup untuk memperkenalkan tokoh-tokoh penting di dalamnya. Atau karena terlalu banyak tokoh yang ingin dimasukkan di film—mungkin merangkum beberapa buku—malah menjadikan komposisi film menjadi terlalu padat sehingga tokoh-tokoh di pihak musuh tadi menjadi ‘sia-sia’ dalam perannya. Karena terlalu banyak tokoh maka harus ada pembagian jatah peran yang berimbang. Meskipun memang ujungnya harus kalah di kubu Wiro. Namun kekalahannya tidak menunjukkan keeleganan sebagai seorang musuh dengan karakter khas masing-masing. Andaikan tokoh yang ada cukup diminimalisir dengan memaksimalkan penguatan dan pengenalan setiap karakter akan menjadi film yang lebih diterima secara baik dari segi cerita. Ending film terasa kurang greget dan sebegitu saja Mahesa Birawa dieksekusi. Terlalu singkat dan kurang elemen dramatisir.

Maka dari itu saya tidak heran ketika temen-temen generasi milenial yang tidak bersentuhan dengan novel atau pun sinetronya akan dibuat bingung dengan penokohan yang ada. Untuk itu saran saya baik yang sudah mengenal Wiro lewat buku atau sinetron TV dan terlebih untuk generasi milenial yang tak tau Wiro sebaiknya menonton sebentar episode 1, episode Mahesa Birawa dan episode Kerajaan Padjajaran di youtube. Itu sangat membantu. Dan jangan buru-buru keluar bioskop karena ada penggalan sequel keduanya.

Bagaimanapun juga Wiro Sableng tetap mampu memberi ruang decak kagum dari setiap penontonnya. Baik sebagai hiburan yang enak untuk ditonton sambil bernostalgia romance-childhood. Sebagai karya perfilman tanah air yang sebaiknya juga dikritisi untuk menatap persaingan ke tempat yang lebih tinggi dan luas—di luar sana.

  


Belum ada Komentar untuk "Yang Luput dari Film Wiro Sableng 212"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel