Headline Post

Menjadi Perempuan Berdaya di Era Digital, Antara Peluang dan Tantangan

Saya begitu senang membahas perempuan. Bukan saja karena saya seorang lelaki. Lebih dari itu masih banyak yang perlu dibahas tentang perempuan utamanya di era digital sekarang ini. Agaknya asyik dan menantang bagaimana menjadi perempuan yang ideal di era digital saat ini. Jika kamu perempuan, bersyukurlah karena hidup di era ini.

Tak dapat dipungkiri saat ini pergeseran tenaga kerja manusia ke arah digitalisasi kian nyata. Ini merupakan tantangan yang perlu direspon baik oleh semua kalangan, termasuk di dalamnya para perempuan untuk terus belajar dan adaptif terhadap perubahan lingkungan.

Saya di antara Blogger VivaTalk
Maka pada tanggal 3 Desember, saya ayo aja ketika temen mengajak ke sebuah acara bertemakan perempuan di era digital. Apalagi acara ini diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan juga menggandeng VIVA di dalamnya. Meski ibu menteri yaitu I Gusti Ayu Bintang Darmawati tidak bisa hadir, ternyata acara masih bisa dinikmati.

Hype peserta makin menjadi karena acara yang mengambil tema “VivaTalk, Perempuan Berdaya Indonesia Maju, Perempuan di Era Digital” ini dipandu oleh moderator cantik Anna Thealita (News Anchor TvOne). Saya termasuk peserta laki-laki yang memang jumlahnya tak sebanding di antara lautan perempuan, menjadi saksi bahwa perempuan di era digital adalah perempuan yang punya kesempatan sama dalam mengembangkan potensinya.

Narasumber
Tentunya banyak fakta menarik perempuan di zaman now ini. Tantangan-tantangan yang dihadapi dan bagaimana berperan dan berdaya sebagai perempuan digital, baik perempuan sebagai individu dan perempuan sebagai istri atau ibu. Semuanya dikupas dan dibahas gamblang oleh para narasumber di antaranya Indra Gunawan dari KPPA Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat. Ada Dr. Sri Danti Anwar sebagai Pakar Gender dan Eko Bambang Subiantoro dari chief of research at Polmark dan Aliansi Laki-Laki Baru.



Bagaimana menjadi Perempuan Berdaya di Era Digital?

Menurut Indra Gunawan bahwa partisipasi perempuan yang berdaya dapat meningkatkan PDB di suatu negara. Artinya perempuan harus punya skil, wawasan dan ilmu pengetahuan yang mumpuni agar bisa bersaing dan mengaktualisasi diri dalam society. Maka hadirnya industri 4.0 seharusnya memberikan dampak kepada perempuan dalam pengelolaan dan pemanfaatan dengan baik karena memiliki prospek yang menjanjikan buat perempuan sebagai bagian pembangun ekonomi dan peradaban.

Indra Gunawan
Kenyataannya hingga saat ini belum banyak perempuan yang terserap dalam industri berbasis digital tersebut. Data dari BPS ditahun 2017 menunjukkan bahwa hanya terdapat 30% pekerja perempuan di bidang industri sains, teknologi, engineering dan matematik. Hasil studi UNESCO menunjukkan masih rendahnya tingkat partisipasi pekerja perempuan di bidang industri karena persepsi bahwa lingkungan kerja di industri merupakan domain pekerja laki-laki, yang melibatkan pekerjaan fisik dan tidak menarik bagi pekerja perempuan.

Berdaya Digital dengan Mengatasi Gap Digital
Namun belum optimalnya partisipasi perempuan di era digital tidak hanya terjadi di Indonesia. Pada tingkat global bahkan ini menjadi bagian dari isu kesetaraan gender. Problem yang dihadapi perempuan saat ini adalah gap keterampilan digital. Di mana gap digital didefinisikan hanya sebatas pengukuran kesenjangan akses seseorang terhadap komputer dan internet. Padahal ada kesenjangan nyata antara perempuan dan laki-laki dalam akses digital.

Praktis, perempuan di era digital masih dikapitalisasi sebatas konsumen. Lapangan kerja atau ekonomi digital yang masih terus berkembang agaknya perlu juga perempuan andil sebagai aktor yang aktif. Tantangan dunia digital yaitu kreativitas dan selalu siap akan perubahan. Buat perempuan harus segera mengatasi gap digital, karena berbicara tentang kreativitas, kemampuan perempuan sudah diakui keberadaannya dan ketangguhan seorang perempuan terhadap perubahan tidak lagi jadi sanksi. Perempuan berdaya di era digital adalah perempuan yang bukan sebatas menjadi daya dukung untuk suami dan anak lagi tetapi ikut berkompetisi.

Berdaya Digital dengan Melek Digital
Dan pada akhirnya menjadi perempuan berdaya di era digital itu mulai terlihat dan tersadari oleh perempuan itu sendiri. Seperti beberapa waktu lalu saat saya mengikuti training dan workshop digital marketing di Jakarta. Di mana peserta yang ikut sekitar 60% adalah perempuan. Gairah digital seakan menggerakkan perempuan yang mayoritas ibu-ibu ini membuka mata saya bahwa perempuan punya interest yang sama tentang digital. Tidak saja sebagai konsumen tapi mencoba menjadi penggerak di dalamnya. Karena berdaya digital pada intinya haruslah melek digital.

Rasa keingintahuan dan semangatnya mengalahkan saya dalam menguasai apa itu digital marketing, FB ads, IG ads, copywriting dan seterusnya. Bagi saya ni adalah kemajuan yang signifikan dan sinyal penting buat pemerintah untuk mengambil inisiatif meningkatkan peran perempuan dalam menghadapi revolusi digital dengan berbagai program yang dibutuhkan perempuan dan mendorong perempuan mengikuti pendidikan berbasis teknologi digital. Karena pendidikan perempuan yang berbasis teknologi digital akan mempercepat tercapainya kesetaraan gender yang juga menjadi tujuan dari pembangunan berkelanjutan.

Berdaya Digital dengan Dukungan Keluarga
Memang tak dapat dipungkiri menjadi perempuan digital akan menambah perannya, khususnya jika perempuan tersebut telah bestatus istri atau ibu. Seorang ibu agaknya perlu membuka diri (open minded) dan mau terus belajar mengikuti perubahan jaman. Memang terasa berat harus berbagi peran antara keluarga dan aktualisasi diri. Maka diperlukan komunikasi suami-istri yang baik untuk saling mendukung peran masing-masing di keluarga. Seorang istri yang didukung penuh oleh suami dalam memaksimalkan potensinya adalah lebih baik.

Diajeng Lestari Hijup.com
Banyak contoh di luar sana perempuan dan digital bisa sukses secara ekonomi dan keluarga. Salah satunya Diajeng Lestari yang kebetulan hadir dan sharing pengalamannya sebagai perempuan dalam bisnis digital. Menjadi pengusaha dibidang ecommerce fesyen muslim yang awalnya tidak pernah terpikirkan bisa mendirikan Hijup.com ini. Perempuan berusia 33 tahun ini sebelumnya adalah seorang karyawan swasta di salah satu perusahaan ternama di Jakarta. 

Dia mengatakan bahwa sudah sejak duduk dibangku sekolah dasar, ibu dari 3 orang anak ini telah mulai berjualan kerajinan tangan untuk dijual ke teman-temannya. Istri dari pendiri Bukalapak ini pun akhirnya memilih bisnis fesyen muslim secara digital pada tahun 2011.

Menjadi perempuan berdaya di era digital memang menjadi tantangan. Tetapi di balik tantangan zaman ada peluang yang menarik di sana. Saya sebagai lelaki akan bahagia melihat perempuan yang berdaya di ranah digital. Bukan saatnya lagi perempuan terpinggirkan karena digital adalah peluang yang akan menyamakan kesempatan. So, duhai perempuan saatnya berdaya sebagai perempuan!











Belum ada Komentar untuk "Menjadi Perempuan Berdaya di Era Digital, Antara Peluang dan Tantangan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel